Ber POLITIK







PENCEMARAN NAMA BAIK DAN REHABILITASI NAMA BAIK
Sumber gambar : mail.kaskus.us/showthread.php?t=912738
I. Latar Belakang
Pemberlakuan pasal fitnah, penghinaan dan pencemaran nama baik
dengan lisan atau tulisan pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau
KUHP, sering disorot tajam oleh para praktisi hukum dan praktisi
jurnalistik. Aturan itu, dinilai banyak menghambat kebebasan berekspresi
dan menyampaikan pendapat di masyarakat, terlebih lagi dianggap dapat
menghambat kerja khususnya bagi wartawan dalam menyampaikan
informasi kepada publik. Penerapan aturan itu juga dinilai bertentangan
dengan konstitusi negara.
Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Setiap
orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran
dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Dalam pasal yang sama,
kontitusi negara menjamin kemerdekaan setiap orang untuk
menyebarluaskan dan memperoleh informasi serta berkomunikasi melalui
segala jenis saluran yang tersedia.
II. Permasalahan
1. Apakah yang dimaksud dengan pencemaran nama baik?
2. Perbuatan apa yang dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama
baik?
3. Sanksi apakah yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang telah
dianggap melakukan perbuatan pencemaran nama baik dan terhadap
siapa?
4. Bagaimana hubungannya dengan rehabilitasi nama baik?
III. Pemecahan
Pengertian Pencemaran Nama baik
Sampai kini belum ada definisi hukum di Indonesia yang tepat
tentang apa yang disebut pencemaran nama baik. Menurut frase (bahasa
Inggris), pencemaran nama baik diartikan sebagai defamation, slander,
libel yang dalam bahasa Indonesia (Indonesian translation) diterjemahkan
menjadi pencemaran nama baik, fitnah (lisan), fitnah (tertulis). Slander
Sie Infokum – Ditama Binbangkum 2
adalah oral defamation (fitnah secara lisan) sedangkan Libel adalah
written defamation (fitnah secara tertulis). Dalam bahasa Indonesia belum
ada istilah untuk membedakan antara slander dan libel.
Pencemaran Nama Baik Menurut Peraturan Perundang-undangan
di Indonesia
Meskipun masih dalam perdebatan, ketentuan-ketentuan tentang
penghinaan yang terdapat dalam Bab XVI, Buku II KUHP masih relevan.
Penghinaan atau defamation secara harfiah diartikan sebagai sebuah
tindakan yang merugikan nama baik dan kehormatan seseorang.
Perkembangan awal pengaturannya telah dikenal sejak 500 SM
pada rumusan “twelve tables” di era Romawi kuno. Akan tetapi, ketentuan
ini seringkali digunakan sebagai alat pengukuhan kekuasaan otoritarian
dengan hukuman-hukuman yang sangat kejam. Hingga, pada era
Kekaisaran Agustinus (63 SM) peradilan kasus defamation (lebih sering
disebut libelli famosi) terus meningkat secara signifikan. Dan, secara
turun-temurun diwariskan pada beberapa sistem hukum di negara lain,
termasuk Inggris dalam lingkungan Common Law, dan Prancis sebagai
salah satu negara penting pada sistem hukum Eropa Kontinental (Civil
Law).
Di Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dominan
merupakan duplikasi Wetboek van Strafrecht voor Nedherland Indie yang
pada dasarnya sama dengan KUHP Belanda (W.v.S). KUHP Belanda yang
diberlakukan sejak 1 September 1886 itu pun merupakan kitab undangundang
yang cenderung meniru pandangan Code Penal-Prancis yang
sangat banyak dipengaruhi sistem hukum Romawi. Secara sederhana,
dapat dikatakan terdapat sebuah jembatan sejarah antara ketentuan
tentang penghinaan yang diatur dalam KUHP Indonesia dengan
perkembangan historis awal tentang libelli famosi di masa Romawi Kuno.
Dalam KUHP pencemaran nama baik diistilahkan sebagai
penghinaan/penistaan terhadap seseorang, terdapat dalam Bab XVI, Buku
I KUHP khususnya pada Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317 dan
Pasal 318 KUHP. Pasal Pidana terhadap perbuatan penghinaan terhadap
seseorang, secara umum diatur dalam Pasal 310, Pasal 311 ayat (1),
Pasal 315, Pasal 317 ayat (1) dan Pasal 318 ayat (1) KUHP yang
menyebutkan :
Pasal 310
(1) Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang
dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan
maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena
menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau
denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-.
(2) Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan,
dipertunjukan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu
dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara
Sie Infokum – Ditama Binbangkum 3
selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyakbanyaknya
Rp 4.500,-.
(3) Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata
bahwa sipembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umum atau
lantaran terpaksa perlu untuk mempertahankan dirinya sendiri.
Pasal 311 ayat (1)
Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan,
dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan dan jika tuduhan itu
dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah
memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
Pasal 315
Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat menista atau
menista dengan tulisan, yang dilakukan kepada seseorang baik ditempat
umum dengan lisan, atau dengan tulisan, maupun dihadapan orang itu
sendiri dengan lisan atau dengan perbuatan, begitupun dengan tulisan yang
dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dihukum karena penghinaan
ringan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu
atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-.
Pasal 317 ayat (1)
Barangsiapa dengan sengaja memasukkan atau menyuruh menuliskan surat
pengaduan atas pemberitahuan yang palsu kepada pembesar negeri tentang
seseorang sehingga kehormatan atau nama baik orang itu jadi tersinggung,
maka dihukum karena mengadu dengan memfitnah, dengan hukuman
penjara selama-lamanya empat tahun.
Pasal 318 ayat (1)
Barangsiapa dengan sengaja dengan melakukan sesuatu perbuatan,
menyebabkan orang lain dengan palsu tersangka melakukan sesuatu
perbuatan yang dapat dihukum, maka dihukum karena tuduhan memfitnah,
dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
R. Soesilo menerangkan apa yang dimaksud dengan “menghina”,
yaitu “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Yang diserang
biasanya merasa “malu”. “Kehormatan” yang diserang disini hanya
mengenai kehormatan tentang “nama baik”, bukan “kehormatan” dalam
lapangan seksuil.1 Menurut R. Soesilo, penghinaan dalam KUHP ada 6
macam yaitu :
1. menista secara lisan (smaad);
2. menista dengan surat/tertulis (smaadschrift);
3. memfitnah (laster);
4. penghinaan ringan (eenvoudige belediging);
5. mengadu secara memfitnah (lasterlijke aanklacht);
1 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal,
Politeia – Bogor, 1996, hal. 225.
Sie Infokum – Ditama Binbangkum 4
6. tuduhan secara memfitnah (lasterlijke verdachtmaking)2.
Semua penghinaan di atas hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan
dari orang yang menderita/dinista/dihina (delik aduan), kecuali bila
penghinaan itu dilakukan terhadap seorang pegawai negeri pada waktu
sedang menjalankan pekerjaannya secara sah.
Obyek dari penghinaan tersebut harus manusia perseorangan,
maksudnya bukan instansi pemerintah, pengurus suatu perkumpulan,
segolongan penduduk dan lain-lain. Bila obyeknya bukan perseorangan,
maka dikenakan pasal-pasal khusus seperti : Pasal 134 dan Pasal 137
KUHP (penghinaan pada Presiden atau Wakil Presiden) yang telah
dihapuskan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, serta Pasal 207 dan
Pasal 208 KUHP (penghinaan terhadap kekuasaan yang ada di Indonesia).
Berdasarkan Pasal 310 ayat (1) KUHP, penghinaan yang dapat
dipidana harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah
melakukan perbuatan yang tertentu”, dengan maksud tuduhan itu akan
tersiar (diketahui orang banyak). Perbuatan yang dituduhkan tidak perlu
suatu perbuatan yang boleh dihukum seperti mencuri, menggelapkan,
berzinah, dan sebagainya. Perbuatan tersebut cukup perbuatan biasa,
yang sudah tentu merupakan perbuatan yang memalukan, misalnya
menuduh bahwa seseorang telah berselingkuh. Dalam hal ini bukan
perbuatan yang boleh dihukum, akan tetapi cukup memalukan bagi yang
berkepentingan bila diumumkan. Tuduhan tersebut harus dilakukan
dengan lisan, apabila dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar, maka
penghinaan itu dinamakan “menista/menghina dengan surat (secara
tertulis)”, dan dapat dikenakan Pasal 310 ayat (2) KUHP.
Penghinaan menurut Pasal 310 ayat (1) dan (2) diatas dapat
dikecualikan (tidak dapat dihukum) apabila tuduhan atau penghinaan itu
dilakukan untuk membela “kepentingan umum” atau terpaksa untuk
“membela diri”. Patut atau tidaknya pembelaan kepentingan umum dan
pembelaan diri yang diajukan oleh tersangka terletak pada pertimbangan
hakim. Untuk kejahatan memfitnah menurut Pasal 311 KUHP, tidak perlu
dilakukan dimuka umum, sudah cukup bila dapat dibuktikan bahwa ada
maksud untuk menyiarkan tuduhan tersebut. Jika penghinaan itu berupa
suatu pengaduan yang berisi fitnah yang ditujukan kepada
Pembesar/pejabat yang berwajib, maka dapat dikenakan pidana Pasal 317
KUHP.
Menurut Prof. Muladi, Guru Besar Hukum Pidana Universitas
Diponegoro bahwa yang bisa melaporkan pencemaran nama baik seperti
yang tercantum dalam Pasal 310 dan 311 KUHP adalah pihak yang
diserang kehormatannya, direndahkan martabatnya, sehingga namanya
menjadi tercela di depan umum. Namun, tetap ada pembelaan bagi pihak
yang dituduh melakukan pencemaran nama baik apabila menyampaikan
suatu informasi ke publik. Pertama, penyampaian informasi itu ditujukan
2 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal,
Politeia – Bogor, 1996, hal. 225.
Sie Infokum – Ditama Binbangkum 5
untuk kepentingan umum. Kedua, untuk membela diri. Ketiga, untuk
mengungkapkan kebenaran. Sehingga orang yang menyampaikan
informasi, secara lisan ataupun tertulis diberi kesempatan untuk
membuktikan bahwa tujuannya itu benar. Kalau tidak bisa membuktikan
kebenarannya, itu namanya penistaan atau fitnah.3
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Pasal-pasal dalam Bab
XVI Buku I KUHP tersebut hanya mengatur penghinaan atau pencemaran
nama baik terhadap seseorang (perseorangan/individu), sedangkan
penghinaan atau pencemaran nama baik terhadap instansi pemerintah,
pengurus suatu perkumpulan, atau segolongan penduduk, maka diatur
dalam pasal-pasal khusus, yaitu :
1. Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 134 dan Pasal
137 KUHP), pasal-pasal ini telah dibatalkan atau dinyatakan tidak
berlaku lagi oleh Mahkamah Konstitusi;
2. Penghinaan terhadap kepala negara asing (Pasal 142 dan Pasal 143
KUHP);
3. Penghinaan terhadap segolongan penduduk/kelompok/organisasi
(Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP);
4. Penghinaan terhadap pegawai agama (Pasal 177 KUHP);
5. Penghinaan terhadap kekuasaan yang ada di Indonesia (Pasal 207 dan
Pasal 208 KUHP).
Selain sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), berkaitan dengan “pencemaran nama baik” juga
diatur dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan UU No. 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam UU No. 32
Tahun 2002, Pasal 36 ayat (5) menyebutkan bahwa :
“Isi siaran dilarang :
a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan
narkotika dan obat terlarang; atau
c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.”
dan UU No. 11 Tahun 2008, Pasal 27 ayat (3) yang menyebutkan :
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik.”
Perbandingan di Negara-negara Maju
Sebagai informasi dan perbandingan saja, di negara-negara
demokratis, pasal-pasal pencemaran nama baik dalam hukum pidana
dianggap sebagai ancaman terhadap kebebasan berekspresi. Oleh sebab
3 Prof. Muladi, Guru Besar Hukum Pidana, “Ancaman Pencemaran Nama Baik Mengintai”, www.hukumonline.com tanggal
30 Mei 2005.
Sie Infokum – Ditama Binbangkum 6
itu, tindakan yang dianggap merugikan reputasi seseorang, biasanya akan
dimintai pertanggungjawabannya melalui hukum perdata, bukan pidana.
Di Amerika Serikat misalnya, tidak dikenal pertanggungjawaban
pidana untuk tindakan pencemaran nama baik atau penghinaan. Hal itu
dianggap bertentangan dengan First Amandement dalam konstitusi AS
yang menjamin kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Pandangan
tersebut dikemukakan oleh Frederick Schauer, Frank Stanton Professor of
the First Amendment, John F. Kennedy School of Government, Harvard
University dalam acara Law Colloquium di Jakarta.
Hal itu semakin tegas setelah muncul putusan Mahkamah Agung AS
dalam kasus New York Times v. Sullivan pada 1964. Dalam putusan
tersebut, Mahkamah Agung AS menyebutkan bahwa pejabat pemerintah
(dan nantinya semua public figure), hanya dapat meminta
pertanggungjawaban media atau mereka yang melontarkan pernyataan,
jika mereka dapat membuktikan secara meyakinkan dan jelas bahwa yang
dikatakan terhadap mereka secara faktual salah. Ditambah, pada saat hal
itu dikatakan atau dipublikasikan, yang menyatakan atau
mempublikasikan telah mengetahui bahwa hal itu kemungkinan salah.
Sejak adanya putusan Mahkamah Agung tersebut, bahkan gugatan
perdata pun sangat jarang diajukan. Karena bagi mereka yang menggugat
harus dapat membuktikan apa yang disampaikan itu salah dan ada
kesengajaan untuk menyatakan atau mempublikasikan hal itu walau telah
diketahui bahwa itu salah.
Di Belanda, negara kelahiran KUHP dan KUH Perdata Indonesia,
ketentuan tentang pencemaran nama baik dalam perangkat perundangundangannya
telah berubah dari apa yang ada di Indonesia. Hal ini
dikemukakan oleh Jan De Meij, Professor dari University of Amsterdam
yang juga menyampaikan makalah dalam Law Colloquium.
Menurut Meij, ketentuan pencemaran nama baik dalam KUHP
Belanda telah berubah sejak 1978. Saat ini, di Belanda, tuntutan pidana
terhadap jurnalis soal pencemaran nama baik merupakan hal yang sangat
jarang terjadi. Biasanya, tuntutan pidana dilakukan terhadap orang atau
kelompok yang menyebarkan kebencian atau diskriminasi, bukan
terhadap jurnalis. Kalaupun ada tuntutan pidana, biasanya hukuman yang
diberikan adalah denda, bukan pidana penjara. Sampai tahun 1992
peraturan tentang penghinaan dan hal lain yang membatasi kebebasan
berpendapat dalam KUHPerdata Belanda masih sama dengan KUHPerdata
Indonesia. Baru pada 1992, pasal tentang pertanggungjawaban perdata
dan fitnah diubah, namun pasal tentang perbuatan melawan hukum (pasal
1365 KUHPerdata) hanya sedikit berubah. Pasal 1365 itulah yang kini
menjadi dasar gugatan terhadap media.
Pakar perbandingan hukum internasional, Toby Daniel Mendell
dalam keterangan ahli pada sidang uji materi terhadap Kitab Undangundang
Hukum Pidana (KUHP) terkait pasal pencemaran nama baik yang
diajukan dua pekerja pers, di Mahkamah Konstitusi tanggal 23 Juli 2008,
Sie Infokum – Ditama Binbangkum 7
berpendapat bahwa sanksi pidana untuk kasus pencemaran nama baik
sudah tidak relevan lagi di dunia modern. Banyak negara sudah
meninggalkan ketentuan itu dan menggantinya dengan sanksi perdata.
Sanksi pidana dinilai tidak proporsional dan berlebihan untuk menghukum
suatu tindak pencemaran nama baik.
Menurut Mendell, kebebasan berpendapat adalah dasar sebuah
negara demokrasi. Sebagai hak dasar, kebebasan ini memang dapat
dibatasi asalkan dilakukan secara sah. Pembatasan harus dilakukan
dengan undang-undang, memiliki tujuan yang sah, atau untuk melindungi
tujuan yang sah. Namun, pembatasan harus dilaksanakan secara hati-hati
dan tidak boleh memiliki killing effect (efek membunuh) sehingga
membuat orang tak berani mengemukakan pendapat. Mengenai sanksi
pidana untuk kasus pencemaran nama baik, Mendell menjelaskan, hal itu
tak lagi digunakan banyak negara. Aturan itu tak lagi relevan. Aturan itu
relevan saat muncul pada abad ke-13 atau ke-14 untuk melindungi
kepentingan umum. Pada masa itu, suatu pencemaran nama baik yang
dilakukan seseorang dapat berdampak pada terjadinya duel yang
mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Namun, saat ini hal itu tidak
ada lagi.4
Pengalaman di berbagai negara, termasuk negara miskin seperti
Ghana, Ukraina dan Srilanka, telah menunjukkan hal itu. Di negaranegara
itu, penghapusan ketentuan pidana tentang pencemaran nama
baik tidak mengakibatkan semakin banyaknya pencemaran nama baik,
secara kualitatif maupun kuantitatif. Di berbagai negara lain, pasal
pencemaran nama baik tidak menarik bagi penuntut umum. Pasalnya,
ketentuan itu menuntut adanya pembuktian bahwa hal yang dituduhkan
salah, dan bukti bahwa hal itu dilakukan dengan sengaja dengan tujuan
menyakiti seseorang. Sehingga, sangat sulit bagi penuntut untuk
membuktikan itu.
Pencemaran Nama Baik dan Rehabilitasi Nama Baik
Pengertian rehabilitasi menurut kamus besar bahasa Indonesia
adalah pemulihan kepada kedudukan atau keadaan yang dahulu atau
semula. Pasal 9 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman
mengatakan bahwa seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau
diadili tanpa alasan berdasarkan UU, atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan berhak menuntut ganti kerugian
dan rehabilitasi. Pengertian rehabilitasi dalam UU No. 14 Tahun 1970
adalah pemulihan hak seseorang dalam kemampuan atau posisi semula
yang diberikan oleh pengadilan.
Kemudian menurut Pasal 1 butir 22 KUHAP, rehabilitasi adalah
hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan,
kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat
4 Toby Daniel Mendell, Pakar Perbandingan Hukum Internasional, keterangan saksi ahli dalam sidang uji materi terhadap
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terkait pasal pencemaran nama baik, video conference di Mahkamah
Konstitusi tanggal 23 Juli 2008.
Sie Infokum – Ditama Binbangkum 8
penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut
atau diadili tanpa alasan berdasarkan UU atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang
diatur dalam UU ini. Rehabilitasi mengikuti ganti kerugian. Artinya
praperadilan dilakukan karena permohonan ganti kerugian, karena aparat
salah melakukan penangkapan, atau tidak sesuai dengan hukum dan
sebagainya dan setelah itu (setelah praperadilannya dikabulkan oleh
hakim) maka yang bersangkutan bisa meminta rehabilitasi agar nama
baiknya dipulihkan kembali.
Pihak-pihak yang berhak mengajukan rehabilitasi itu adalah pihak
yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang
putusannya telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Misalnya
seseorang diadili, kemudian diputuskan bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum, maka dia itu berhak memperoleh rehabilitasi atas
pemulihan nama baiknya.
Perbedaan antara rehabilitasi dengan pencemaran nama baik
adalah bahwa rehabilitasi dilakukan karena perbuatan aparat penegak
hukum. Artinya si pemohon rehabilitasi adalah tersangka, terdakwa,
terpidana yang permohonan praperadilannya dikabulkan (ada campur
tangan aparat) karena rehabilitasi itu adalah hak yang diberikan oleh
KUHAP kepada tersangka atau terdakwa. Rehabilitasi lebih kepada hal
yang tidak berhubungan dengan materi melainkan hanya menyangkut
nama baik saja karena rehabilitasi adalah pemulihan hak seseorang hak
atau kemampuan seseorang dalam posisi semula. Sementara pencemaran
nama baik diatur dalam KUHP (mengenai pencemaran nama baik) adalah
gugatan dari seseorang kepada orang lain yang dianggap telah
mencemarkan nama baiknya. Jadi tidak ada campur tangan aparat dalam
hal upaya paksa. Permintaan rehabilitasi bisa diajukan oleh tersangka,
keluarga atau kuasanya. Jadi ahli waris juga bisa mengajukan rehabilitasi.
Begitu juga halnya dengan ganti kerugian.
IV. Penutup
Dalam sistem hukum di Indonesia belum ada definisi hukum yang
tepat tentang apa yang disebut pencemaran nama baik. Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diberlakukan merupakan duplikasi
Wetboek van Strafrecht voor Nedherland Indie yang pada dasarnya sama
dengan KUHP Belanda (W.v.S). KUHP Belanda, menerangkan bahwa
pencemaran nama baik diistilahkan sebagai penghinaan/penistaan
terhadap seseorang, yang terdapat dalam Bab XVI, Buku I KUHP
khususnya pada Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317 dan Pasal 318
KUHP. Pasal Pidana terhadap perbuatan penghinaan terhadap seseorang,
secara umum diatur dalam Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317 dan
Pasal 318 KUHP.
Adanya pasal-pasal dalam KUHP yang mengatur mengenai
pencemaran nama baik/penghinaan selama ini dianggap sebagai aturan
pembatasan dalam kebebasan berekspresi dan kemerdekaan
Sie Infokum – Ditama Binbangkum 9
berpendapat, khususnya bagi kalangan pers yang seringkali tak jelas dan
lebih dimotivasi keinginan dari pembuat undang-undang untuk membatasi
akses masyarakat terhadap informasi terutama terhadap beragam
informasi yang mempunyai dampak terhadap kehidupan masyarakat.
Pembatasan itu terutama berkaitan dengan tindak pidana pencemaran
nama baik dan/atau penghinaan (fitnah).
Terlepas dari semua problem yang terjadi akibat adanya peraturan
pemidanaan atas perbuatan pencemaran nama baik, alangkah baiknya
sebagai suatu individu, seseorang dalam berekspresi dan menyatakan
pendapat lebih bersikap dewasa dan mengerti akan norma untuk
menghormati orang lain, sehingga tidak menimbulkan pertentangan
kepentingan di masyarakat.
Referensi :
1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
2. UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran;
3. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
4. UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman;
5. UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;
6. R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap
Pasal Demi Pasal, Politeia – Bogor, 1996;
7. Diah Lestari.P. dan Theodora YSP (Divisi Riset MaPPI FHUI), “Ganti Kerugian dan Rehabilitasi”,
http://www.pemantauperadilan.com, tanggal 7 Desember 2005;
8. Prof. Muladi, Guru Besar Hukum Pidana, “Ancaman Pencemaran Nama Baik Mengintai”,
www.hukumonline.com, tanggal 30 Mei 2005;
9. Kompas, Jumat, 25 Juli 2008;
10. Brian Prastyo, “Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik”, http://staff.blog.ui.edu.